Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Sholat Tanpa Dizkir "Kapal Besar Tanpa Penumpang"

annawawi.berjan
18 Feb 2023, 10:27 WIB Last Updated 2023-02-18T10:09:56Z
Pagi Itu, langit begitu cerah, sejurus kemudian berubah mendung kemudian hujan. Seperti waktu yang berjalan lebih cepat dari berlari. Sekilas cahaya lewat lari ke barat, kita sudah berada di Abad 21, zaman yang sudah keriput. Tua!

 

Sementara jauh hari sebelumnya, kehidupan manusia di akhir zaman ini sudah dibaca dengan seksama oleh para pendahulu. Kualitas manusia telah diraba dengan cermat berbalut kasih sayang oleh para nabi.
KH Achmad Chalwani Musryid Thoriqoh Qodiriyyah Wan Naqsyabandiyyah Berjan Purworejo Jawa tengah

Atas nama cinta, Nabi telah berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan para umatnya, salah satu jejak yang tersimak ada di bulan Rajab. Percakapan bersejarah ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menjalankan rukun Islam yang kedua itu juga mengabadikan kepedulian Nabi Musa AS dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Semuanya itu terkuak begitu gamblang dalam pengajian rutin jamaah Toreqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Pondok Pesantren (Ponpes) An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, Ahad (12 Ferbuari 2023).

 

Pengajian kali ini memang memiliki nuansa yang cukup berbeda. Banyak diantara mereka yang rawuh (hadir) adalah orang-orang yang sudah berumur. Bahkan sebagian diantaranya yakni para badal yang sering membantu Pengasuh Ponpes An-Nawawi Berjan KH. Achmad Chalwani berdakwah.

 

Tiba saatnya, jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Sang Mursyid naik ke mimbar, mengenakan pakaian dan kopiah serba putih, berhias surban hijau di pundak kirinya, wajahnya begitu teduh mengayomi. Senyumnya terlihat berseri di depan para jamaah dan kamera yang siap memancarkan acara pengajian rutin itu secara langsung di laman Youtube KH. Ahmad Chalwani.

 

Sebelas ayat Al-Quran dibaca, kemudian tausiah dimulai; "Semua yang hadir pantas bersyukur, karena pengajian kali ini bertepatan dengan bulan Rajab. Seperti pernah saya sampaikan sekilas sebelumnya, banyak hikmah yang bisa dipetik dalam peristiwa Isra’ Mi’raj" Secara tersirat,
Mursyid Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah ini ingin menyampaikan bahwa bulan Rajab adalah bulan yang sangat bersejarah bagi umat muslim.
Terdapat alur riwayat perjuangan Nabi Muhammad SAW ketika bertemu dengan Allah SWT. Peristiwa Isra’ Mi’raj juga menjadi contoh sangat jelas, betapa arifnya para nabi memikirkan umatnya.

 

Ada dialog antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS yang begitu epik, ihwal tawar menawar jumlah beribadah bagi umat muslim dalam sehari semalam. Nabi Musa AS memiliki jasa besar. Menghitung jarak waktu, merekatkan riwayat dan menghitung kemampuan umat nabi Muhammad SAW yang hidup di zaman akhir.

Musyawarah kedua nabi itu terjadi selepas Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW berikut umatnya menunaikan ibadah sholat sebanyak 50 kali sehari semalam. Tentu itu tidak menjadi masalah bagi Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang begitu taat kepada Allah SWT dengan menerima semua perintah-Nya. Hingga dalam perjalanan pulang, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Musa AS.
Percakapan kedua Nabi itu kurang lebih seperti ini;
Musa AS: Muhammad dawuhi opo? (Muhammad kamu mendapat perintah apa?) 
Muhammad SAW: Dipun dawuhi sholat 50 kali sehari semalam, (Diperintah sholat 50 kali sehari semalam) 
Musa AS: Kamu saja? 
Muhammad SAW : Tidak berikut seluruh umat 
Musa AS: kamu terima? kok diterima itu bagaimana? umatmu tidak akan mampu? baliklah lagi temui Allah, mintalah kemurahan.

 

Nabi Muhammad SAW pun mengambil masukan itu, kembali menemui Allah SWT untuk meminta kemurahan.
Benar, permintaan itu dikabulkan, sholat 50 waktu dikurangi menjadi 45 kali sehari semalam. Begitu kembali dan bertemu nabi Musa AS, beliau ditanya kembali;
Musa AS: Berapa?
Muhammad SAW: Sudah menjadi 45 kali sehari semalam
Musa AS: Balik lagi! umatmu tidak bakal kuat

 

Dikisahkan, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad SAW sampai bolak-balik genap sembilan kali menemui Allah SWT.
Hingga akhirnya Nabi Muhammad SAW diperintahkan cukup mengerjakan sholat 5 kali sehari semalam, berikut jaminan pahala yang sama seperti menjalankan ibadah sebanyak 50 kali sehari semalam seperti perintah pertama.
Jika ada pelajaran berharga lainnya yang bisa dipetik dalam peristiwa bersejarah ini yakni sikap para Nabi yang begitu arif dan bijaksana. Selalu mengedepankan musyawarah, kendati setiap Nabi memiliki hak prerogratif. Mereka begitu detil dan pasti dalam memikirkan kemaslahatan umatnya. "Maka rembugan itu penting, ojo dumeh duwe hak (jangan mentang-mentang sudah memiliki hak memimpin masing-masing umatnya). 
Nabi Muhammad SAW saja tetap bermusyawarah dengan Nabi Musa AS untuk memikirkan kemampuan kalian dalam hal beribadah kepada Allah SWT," tutur putra  tokoh di balik berdirinya Jam'iyyah Ahli Thoriqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyah ini.

 

"Pertanyaannya adalah, setelah hanya diberi tugas menjalankan ibadah sholat 5 kali sehari semalam. Sikap umat yang paling wajar adalah bagaimana meningkatkan kadar kualitasnya," Meningkatkan kualitas sholat itu ada dua cara, pertama sholat berjamaah dan kedua wiridan.
Sholat berjamaah bahkan sudah dicontohkan langsung Nabi Muhammad SAW.
Diriwayatkan, orang yang tidak pernah sholat berjamaah atau sholat sendirian itu ibarat kambing terpisah sendirian di tengah sawah dan ketika bertemu Harimau langsung diterkam. "Sak temene macan mangan wedus kan mental ijen (ketika ada kambing terpisah sendiri di sawah dan ketemu harimau, maka dengan diterkam dan dimakannya). Berbeda jika berada dalam sekumpulan, harimau bakal bingung akan memakan kambing yang mana,"

 

"Contohnya pengajian ini, macan mau makan yang gendut bingung, sebab yang gendut tidak hanya satu. Mau makan yang mengantuk, juga pusing, karena yang mengantuk juga banyak," seloroh Sang Mursyid.
"Koyo opo kahanane, asal akeh kumpul, akeh slamete (apapun keadaanya jika berkumpul lebih banyak selamatnya)" Putra ketiga pasangan KH. Muhammad Nawawi dan Nyai Saodah ini menyebutkan,
Para Kyai NU dahulu, menjadikan perumpamaan itu sebagai syiiran atau pujian;
Sopo wonge ora gelem berjamaah, Koyo wedus kepencil ono ing sawah,
Macan luwe arep makan ora wegah, Macan luwe arep mangan ora wegah,

 

Syiiran ini bahkan sudah di-Indonesia-kan di Palembang;
Barang siapa tidak solat berjamaah, Seperti kambing terpencil di tengah sawah,
Hariamau lapar langsung saja menerkamnya Harimau lapar langsung saja menerkamnya.

 

Jika dipetik nilai yang lebih mendalam, orang sholat sendirian itu baik, namun nilai rata-rata hanya hanya berkisar antara 4,5 - 5 saja. Sulit untuk naik.
Ketika pribadi sadar hanya mampu menyentuh nilai 4,5 - 5 ketika sholat sendiri, tentu akan memilih sholat berjamaah. Sebab jika diantaranya jamaah ada yang mampu menyentuh nilai 8, maka semua akan mendapat nilai 8. "Itu kelebihan sholat berjamaah. Malaikat yang menilai, Allah SWT yang memerintah,"

 

Meningkatkan kualitas Sholat yang kedua adalah berdizikir.
Biasa berdzikir sendiri tanpa mengikuti toreqoh itu sudah baik, tapi alangkah lebih baiknya jika ikut toreqoh.
Karena sejatinya dzikir itu ada dua, (Dzikir khasanat dan Dzikir Darojat. "Dizikir khasanat itu ketika panjenengan (anda) mendapat undangan kenduri atau istigosah dan disitu ada dzikirnya, itu masuk kategori dzikir khasanat. Dizkir tetap bernilai kebagusan, namun dzikir darojat setelah melalui thoriqoh merupakan dizikir yang dibutuhkan untuk menembus Arsy Allah"

 

Satu kisah, ada seorang Kyai di Palangkaranya Kalimantan.
Namanya KH Sodiq, beliau adalah santri dari KH Asrori Kedinding Surabaya yang juga santri KH Masbukhin Gresik dan pernah mondok juga di Ponorogo.
KH Sodiq asalnya Grobogan ini suatu ketika bertemu dengan Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan diminta untuk menyalakan dakwah di Pantap, Palangkarasa, Kalimantan.

Setelah disanggupi dan memiliki santri banyak, suatu kesempatan beliau sowan lagi ke gurunya di Ponorogo.
Dalam pertemuan itu KH Sodiq mendapat perintah dari sang guru untuk mencari guru Thoriqoh. "Sanajan wis intuk ilmu akeh seko aku, tetapi ilmu seko aku kui durung iso kanggo wushul maring Allah. Koe kudu golek guru toreqoh (Meskipun kamu sudah mendapat ilmu banyak dari saya, tetapi ilmu yang kamu dapat belum bisa untuk wusul langsung keada Allah.

Kamu harus mencari guru toreqoh)" Sebagai santri Kedinding Surabaya, KH Sodiq kemudian diminta baiat dengan KH Asrori.
Namun sayang, belum sempat melakukan baiat, KH Asrori sudah mangkat (meninggal dunia) terlebih dahulu. KH Sodiq pun sempat kebingungan untuk mencari siapa guru toreqoh penggati KH Asrori. KH Sodiq kemudian melakukan sholat Istiqoroh hingga genap tujuh kali. Ia kemudian mendapat petunjuk dalam mimpi, beliau bertemu dengan saya (KH Achmad Chalwani).
Padahal belum kenal dan sama sekali belum pernah ketemu.

 

Suatu ketika, Gus Muwafiq dari Jogja yang juga dikenal sangat dekat dengan Gus Dur diundang mengisi pengajian di Palangkaraya Kalimantan.
Kebetulan lokasinya tidak jauh dari Pondok Pesantren KH Sodiq.
Keduanya kemudian bertemu, KH Sodiq pun kemudian minta pertimbangan Gus Muafiq terkait nasib Thoriqohnnya. KH Sodiq: "Saya itu mau baiat dengan KH Asrori atas petunjuk guru kulo di Ponorogo, namun beliau sudah wafat.
Karena bingung saya kemudian sholat istiqoroh, bermimpi ketemu Mbah Chalwani, anehnya saya bermimpi bertemu beliau genap tujuh kali.
Kalau saya ikut thoriqoh Mbah Chalwani bagaimana?"
Gus Muwafiq: "Jika jenengan mau ikut thoriqoh dengan kyai Chalwani, saya ikut bertanggung jawab dunia akherat," Gayung bersambut,
suatu waktu KH Achmad Chalwani diundang ke Palangkaraya.

Ketika tahu akan datang ke wilayahnya, KH Sodiq begitu gembira, ia senang sekali, kemudian bercerita kepada semua tetangga dan mencoba mencari cara, bagaimana KH Achmad Chalwani bisa mampir dan bertemu dengannnya di Pondok Pesantren asuhannya.

Satu tetangga angkat bicara: "Kalau KH Achmad Chalwani adik saya bahkan mondok di Ponpes An-Nawawi Berjan Purworejo. Namanya Sugeng Nur Sodik," KH Sodiq yang girang akhirnya menyahut: "Sudah, adikmu suruh kesini, tiket pesawat saya tanggung pulang-pergi.

Pokoknya bagaimana caranya KH Ahmad Chalwani sampai ke Pondok Pesantren" Kisah itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu.
Saat itu KH Achmad Chalwani mengaku kaget, "Kok koe tekan kene Dik (kok kamu sampai sini Sodik)" Sugeng Nur Sodiq menjawab; "Njih, saya diminta untuk mempersilahkan Panjenengan (KH Achmad Chalwani) pinarak di Ponpes asuhan KH Sodiq" KH Achmad Chalwani mengabulkan permohonan itu, dan bertemu.
Ketika prosesi bai'at dilaksanakan, KH Sodiq tidak sendiri, pesertanya mencapai 250 orang. "Padahal sama sekali saya belum kenal dengan KH Sodiq berikut jamaahnya.

Setahun kemudian, saya diundang lagi kesana dan yang ikut baiat ada 150 orang.
KH Sodiq kemudian saya ijinkan menjadi Mursid di Pantap, Palangkaraya," "Itu hanya satu contoh, sebetulnya yang seperti itu-itu banyak,"

 

"Satu yang perlu digarisbawahi, ini menjadi bukti, Thoriqoh itu penting untuk meningkatkan kualitas sholat," Disebutkan, Mbah Mad Watucongol sempat menyampaikan, sholat tanpa wirid itu ibarat kapal tanpa penumpang. "Senajan kapale gede, kosong ra ono penumpange, nang segoro keno ombak goyang, ditumpaki ora tenang, maka sholat tanpa wridan kon khuyusk angel. (Kendati besar kapalnya, kosong tidak ada penumpang, di tengah lautan terkena ombak akan goyang, ditumpangi tidak tenang, maka sholat tanpa wirid sulit untuk husyuk)"

 

Bicara pentingnya thoriqoh. Mbah Mangli juga thoriqoh, tokoh kelahiran Jepara dengan nama asli Hasan Asykari ini menetap di Desa Mangli kemudian sampai sekarang dikenal dengan nama Mbah Mangli.
Beliau pernah mondok di Wonosobo memiliki guru syariat bernama Ibnu Hajar Tempelsri, Kalikajar, Wonosobo.
Mengambil thoriqoh Kholidiyah wa Naqsyabandiyyah dengan KH Arwani Kudus.
Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari pendiri sekaligus Rais Akbar (Pimpinan Tertinggi pPertama) Nahdlatul Ulama pemilik gelar Syaikhul Masyayikh putra dari pasangan K.H. Asy'ari dengan Nyai Halimah dan lahir di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur juga Thoriqoh.

Guru syariatnya bernama Al-'Aalim Al-'Allaamah Asy-Syekh Al-Haajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil Bangkalan Madura.

Adapun guru thoriqohnya bernama KH Mahfud bin Abdullah bin Abdul Manan Dipomenggolo, Termas, Pacitan Jawa Timur. "Ini bukti sejarah" "Ingin dengar kisah yang lain? "Tadi malam saya sampai gumun (heran), saat mengisi pengajian di Kebarongan Kemranjen Banyumas, KH Tahrir Ubaidilah tiba-tiba tanya bab wayang, padahal saya sama sekali tidak penah tahu soal wayang"

 

"KH Tahrir Ubaidilah mengaku bermimpi ketemu saya dan memberi wayang kepadanya. Sekarang ia menjadi dalang terkenal dan laris. Kalau tidak percaya kapan-kapan bisa ditanggap.

Ya dia dalang yang Thoriqoh pengasuh Ponpes Hidayatul Mubtadiin Kemrajen Banyumas"
"Makanya saya berpesan kepada semua, jenengan yang manteb thoriqoh njih" ***



Penulis :Hendri Utomo, Wartawan Jawa Pos Radar Jogja dan Jamaah Ahlit Thoriqoh Qodiriyyah Wan Naqsyabandiyyah Berjan

Iklan

iklan