Tasawuf sering disebut sebagai misitsisme dalam Islam (Islamic Mysticim) oleh orientalis. Terdapat berbagai kemungkinan mengenai asal-usul istilah tasawuf ini. (1) Ada yang mengatakan berasal dari kata Suffah, nama suatu ruang dekat masjid Madinah, tempat Nabi Muhammad saw memberikan pelajaran kepada para sahabatnya seperti Abu Darda, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari dan lain sebagainya. (2) Ada juga yang mengatakan berasal dari kata suf yang berarti bulu domba, yang umumnya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi dari Siria. (3) Lainnya mengatakan, ia berasal dari kata shaafiy yang berarti suci, artinya seorang sufi adalah orang yang disucikan melalui latihan-latihan ibadah. (4) Selain itu ada yang beranggapan dari kata sophos, kata Yunani yang berarti hikmah.[1]
Adapun menurut al-Jailani, tasawuf diambil dari kata “ash-shafa” yang bermakna suci. Hati disucikan dengan makanan yang halal, dengan berma’rifat secara sungguh-sungguh dan benar kepada Allah. Seorang sufi yang benar di dalam tasawufnya akan mensucikan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Ia tidak menjelekkan baju, menguningkan wajah, dan lain-lain dengan maksud menghinakan diri pada dunia. Akan tetapi, seorang sufi akan datang dengan kejujurannya dalam mengharap Allah, dengan zuhudnya terhadap dunia, dengan mengeluarkan makhluk dari dalam hatinya, dan dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu selain dari Allah.[2]
Pandangan al-Jailani di atas nampak bahwa ia juga memberikan kritik terhadap praktik-praktik sufi yang berlebihan pada masanya. Menurutnya, seorang sufi adalah mereka yang selalu berusaha menyucikan zahir batinnya dengan tidak meninggalkan ajaran yang tertuang dalam kitab suci serta sunnah Rasulullah. Sedang tasawuf adalah senantiasa berperilaku benar dan jujur dalam kebajikan, dan berperilaku baik kepada semua makhluk Allah.[3] Sehingga dalam hal ini, bagi al-Jailani, perilaku sufi tidak terpisah dari konteks hubungan individu dengan Allah dan juga hubungannya dengan manusia yang harus seimbang.
Lebih jauh, di dalam kitab sir al-asrar, al-Jailani menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya. Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah. Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.[4]
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening. Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah swt dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.[5]
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah. Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”[6]
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.[7]
Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa.[8] Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya,[9] sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”[10]
Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” [11]
Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)
Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya”[12] Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.
FOOTNOTE
[1] Yusuf Muhammad Thaha Zaidan, ‘Abdul Qadir al-Jailany Baz Allah al-Asyhab, (Beirut: Dar al-Jayl, tt), hal. 14-15. Lihat juga, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (Qahirah: Dar asy-Sya’b, 1989), hal. 464-467
[2] Muhammad Solikhin, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 83
[3] Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah, Vol. II..., hal. 160
[4] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar wa Madhhar al-Anwar, (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyah, tt), hal. 38
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), hal. 141
[9] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar…, hal. 39
[10] M. Zainuddin, Karomah…, hal. 67
[11] Ibid., hal. 69
[12] Abdul Qadir Jailani, Sirr al-Asrar…, hal. 24