Hujan
dan Jejak Mursyid
Dari
Surau Hingga Hagia Sophia
oleh : Hendri Utomo
Ahad (25/12/2022)
H |
ujan
gerimis dan jamaah yang menipis berbanding lurus dengan parkir kendaraan yang
longgar. Toh begitu, pengajian rutin jamaah Tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah
di Masjid Induk Shiddiq Zarkasyi, Kompleks Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan
Purworejo tetap jalan.
Hujan
boleh saja membuat kaki-kaki berat melangkah, namun KH. Achmad Chalwani, Mursyid
Tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah yang juga Generasi ke-4 Pengasuh Pondok
Pesantren An-Nawawi tetap tidak surut semangat.
Mengenakan
kemeja dan kopiah putih, nampak elegan berpadu dengan sorban kombinasi warna
hijau lumut, hitam dan biru tua tersemat di pundak kirinya. Beliau mungkin juga
merasakan dinginnya pagi itu, namun tetap saja tekun membimbing para jamaah
yang didekap hujan.
Jarum
jam sudah mulai menunjuk angka 09.30 WIB. Pondok Pesantren yang memiliki ribuan
santri dari berbagai pelosok negeri ini pun terintip sedikit berbeda dari
biasanya, khususnya di ruang sayap barat dapur beratap kanopi, yang terletak di
sisi selatan Masjid yang cukup tersembunyi.
Tempat
ini cukup nyaman untuk menghisap berbatang-batang rokok berteman secangkir
kopi. Namun sekali lagi, hujan kali ini benar-benar telah membuktikan dugaan
awal. Sepi!
Sejauh
mata memandang, nyaris hanya ada satu jamaah laki-laki yang duduk sendiri di
pojok sekat ruangan itu, tubuhnya bahkan nyaris tidak kelihatan, karena
tertutup meja serupa rak yang juga ada dua pasang sepatu futsal milik santri.
Biasanya,
tempat ini ramai, kerap disinggahi jamaah Tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah
yang sudah berkeluarga. Biasanya mereka membawa serta istri dan anak-anaknya.
Tempat ini juga kadang riuh para alumni generasi tua yang rindu bercengkrama.
Tepat
pukul 09.45, KH. Achmad Chalwani pun mulai duduk di mimbar. Suaranya yang lembut
namun dalam mulai terdengar mengawali, "Ya fattahu yaa 'allim..."
kemudian diikuti semua mata dan telinga jamaah Tarekat tertuju kepada putra
bungsu KH. Nawawi ini.
Sementara
di dekat tangga, beberapa jengkal dari menara Masjid, seorang santri terlihat
serius membagi relai video pengajian rutin itu untuk disiarkan langsung
melaluki kanal Youtube. "Mriki mawon mas (sini saja mas)," ucap
melalui pesan singkat.
Sementara
itu, hujan masih terlihat sibuk menari, seperti ribuan jarum alit yang jatuh
dari langit, merobek ruang udara dan jatuh menghujam ke bumi, menguarkan aroma
tanah dari ruam-ruam halaman yang basah. Sejurus kemudian, KH. Achmad Chalwani
memulai mengawali pengajian.
Pengajian
rutin itu digelar di masjid induk yang berada tepat di jantung Ponpes An-Nawawi
Berjan. Masjid yang megah, memiliki menara menjulang tinggi ke angkasa,
ditopang pilar-pilar kokoh berornamen khas. Jika dilihat, sekilas mirip
masjid-masjid di Timur Tengah. Sekilas mirip Masjid Hagia Sophia di Istambul
Turki versi kecil.
Mencoba
menyentuh lantainya, semakin jauh mengenang riwayat Hagia Sophia berikut
sejarah yang melingkupinya. Hagia Sophia adalah warisan sejarah Bizantium,
tetenger (penanda) jatuhnya Konstantinopel di tangan Utsmani pada 29 Mei 1453.
Begitu
banyak catatan sejarah mengenai masjid simbol peradaban Islam di eropa ini.
Banyak sekali literasinya, banyak catatan baik itu dari Yunani, Italia, Slavia,
Turki, dan Rusia. Tentu saja dengan versi masing-masing yang berbeda-beda,
cukup sulit jika harus disatukan.
Ku
sulut satu batang rokok, ingatan pun kembali terpanggil untuk menengang sebuah
nama Steven Runciman dengan bukunya yang berjudul A History of the
Crusades. Ia adalah sejarawan kontemporer kebangsaan Inggris yang terbilang
cukup lengkap mengupas Hagia Sophia.
Hagia
Sophia ini dulunya adalah gereja yang kemudian berubah menjadi masjid
kekaisaran pasca penaklukan Konstantinopel. Peralihan fungsi bangunan
peribadatan ini juga menjadi bukti, bahwa Muslim dalam melakukan penaklukkan
tetap memegang kearifan, keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tidak dihabiskan.
Sebagaimana sistem millet Utsmani, memang biasa membiarkan agama
non-Islam untuk mengatur urusan masing-masing.
Adalah
Gennadius Scholarius yang kemudian dikenal sebagai Patriark Konstantinopel
pertama pada masa Utsmani. Ia menetapkan kedudukannya di Gereja Rasul
Suci, meskipun kemudian berpindah ke Gereja Pammakaristos.
Perjalanan
waktu, Mehmed II mulai melakukan sejumlah perbaikan dan pengubahan bangunan
Hagia Sophia yang dulunya gereja menjadi masjid. Sejarah mencatat, Mehmed II
melaksanakan salat Jumat pertama kali di masjid Hagia Sophia pada 1 Juni 1453.
Sejak saat itu, Hagia Sophia murni berubah menjadi masjid kekaisaran pertama di
Istanbul.
Kompleks
Hagia Sophia kemudian dikenal sebagai Istana Topkapı. Tahun 1478 Kompleks Hagia
Sophia sudah dilengkapi 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30
toko boza serta 23 toko domba yang dikelola Yayasan untuk menghidupkan
Hagia Sophia.
Kemudian
dikuatkan dengan piagam kekaisaran di tahun 1520 (926 H) dan 1547 (954 H),
sejumlah toko dan bagian dari Grand Bazaar berikut pasar-pasar lain
yang ditambahkan masuk dalam kesatuan kompleks Hagia Sophia. Termasuk air
mancur untuk wudhu. Sebuah menara kecil juga dibangun tepat di sudut barat daya
bangunan di atas menara tangga sebelum 1481 M.
Pada
masa kepemimpinan Sultan Bayezid II (1481–1512), ada penambahan
menara lain di sudut timur laut. Kendati salah satu dari menara itu kemudian
runtuh akibat gempa bumi pada tahun 1509. Pertengahan Abad XVI keduanya
kemudian diganti dengan dua menara yang dibangun di sudut timur dan barat
bangunan utama.
Selim
II yang jeli melihat tanda-tanda kerapuhan di beberapa bagian Hagia Sophia
kembali memperkuat struktur bagian luar. Proyek ini dikepalai seorang arsitek
asli Utsmani bernama Mimar Sinan. Sosok inilah yang kemudian dikenal sebagai
salah satu insinyur gempa pertama di dunia.
Sinan
dengan telaten menjaga struktur bangunan yang sangat bersejarah di Bizantium
ini. Bahkan kemudian menambahkan dua menara besar di barat yang awalnya ruang
khusus sultan, dan satu lagi di bangunan makam Turki untuk makam Selim II
di tenggara bangunan pada 1576-7 M. Lambang bulan sabit emas tak lupa dipasang
di atas kubah. Terakhir, kompleks makam di Hagia Sophia ini menjadi makam bagi
43 pangeran Utsmani hingga saat ini.
Seolah
terjaga dari mimpi, KH. Achmad Chalwani sudah mulai mengajarkan para jamaah
membaca dan memaknai hujan. Tepat pada tatapan pertama dari balik celah jendela
masjid, bayangan generasi terakhir Utsmani seperti meminta, tutup dulu cerita
Hagia Sophia, luruskan niatmu datang mengikuti pengajian.
Dan
betul, KH. Achmad Chalwani sudah mulai menceritakan pengalaman yang tak kalah
menarik. Sebuah perjalanan ziarah ke makam Syeh Sayid Muhammad Al Busiri di
Iskandaria (Afrika). Ya, orang barat menyebutnya Alexadria.
Beliau
mulai mengenalkan tokoh pengarang Muallayasol, Ya Robbibil, dan Huwal Habib
itu. Diakhir cerita, sebuah doa pun diijazahkan kepada para jemaah yang khusyuk
menyimak ucapan demi ucapan sang Musryid yang terdengar pelan membimbing.
Monggo
diwaos sareng, "Allahumma Inna nas aluka khoiro hadihirriyaahi, wa
khoiroma arsalta biha wana'udzubika min syarri hadihirriyaahi wa syarrima
arsalta biha...Aamiin ya Robbal 'Alamiin..."
"Duh
Allah, sak temene kito, iku nyuwun kito ing Panjenengan, ing sae-saene
pinten-pinten angin, lan ing sae-saene perkoro, kang kirim Panjenengan Allah
lumantar angin lan nyuwun kerekso ingsun dateng Panjenengan, saking ala-alane
pikiran, piro-piro angin lan saking ala-alane perkoro kang kirim Panjenengan
Allah lumantar angin, Aamiin"
Doa
ini adalah doa meminta cuaca yang bagus, angin yang dikirimkan untuk membawa
kebaikan, menghentikan syahwat bencana banjir dan angin topan, seperti yang
terjadi di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini. Beliau juga
menitipkan pesan, sampaikan dan ajarkan doa tersebut kepada anak-anak di rumah.
Perbanyak membaca Huwal Habib, sebab sejatinya hujan itu rahmat untuk
menubuhkan tanaman.
"Kerekso
ingsun dateng panjenengan saking ala-alane pikiran kulo kulo angin, ala-alane
perkoro kang kirim panjenengan Allah lumantar angin. Musim hujan seperti ini
monggo diwaos (silahkan dibaca). Mintalah hujan rohmat, jangan lupa juga baca
Alhuma Sukya Rohmatin Wala Sukya 'Adzabin. Pujian Illahi ya Karim hentikan dulu,
meskipun alunan lagunya enak, namun itu doa meminta hujan deras. Sementara
ganti dengan Mu'allayasol (3 x) , Ya Robbibil Mustofa (3 x), dan Huwal Habib (11 x),
InsyaAllah hujan berhenti,"
Materi
pengajian yang sangat kontekstual, jamaah pun akhirnya larut dalam khusyuk
mengikuti Mujahadah yang dipimpin langsung sang Mursyid.
Pengajian
selesai, KH. Achmad Chalwani pun turun dari mimbar dan keluar dari masjid megah
itu. Satu fase ingatan yang mungkin tidak akan pernah kembali, mata ini seolah
menyimak dengan lekat, langkah kaki beliau menapak persis di bekas jejak kaki
KH. Zarkasyi di tahun 1830-1914 silam.
Awal
mula Pondok Pesantren yang berada di Pedukuhan Berjan, Desa Gintungan,
Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah ini berdiri, yang dulu hanya
berwujud surau sederhana. Sedikit melepas tatapan mata dari langkah-langkah
kali beliau, sekuat tenaga tubuh ini berbalik 180 derajat, mata kembali
menengok kebelakang, dan tepat di antara pilar Masjid induk Pondok Pesantren
Berjan itu, bayang-bayang sosok Al Marhum Al Maghfurlah KH. Zarkasyi, sang
pengasuh pondok periode pertama pada medio 1830 M -1914 M seperti muncul dan
tersenyum.
Beliau
tidak lain adalah putra Ky. Asnawi Tempel yang lahir di Desa Tempel, Tanggung,
Sidomulyo, Purworejo, Jawa Tengah. KH. Zarkasyi mendapat tempaan ilmu pendidikan
agama yang kuat sejak kecil, langsung dari orang tuanya. Kemudian mondok di
Bangil Jawa Timur, dan penyecap ilmu langsung dari KH. Abdul Karim Banten
(Paman Syaikh Nawawi Banten) di Tanah Suci Makkah Al-Mukarromah.
Menebalkan
ingatan, Masjid Shiddiq Zarkasyi ini benar-benar semegah Masjid Hagia Sophia di
Istambul. Jejak KH. Zarkasyi sesaat setelah kepindahannya dari Dunglo
(Ngelis/Pabrik Listrik) Kalurahan
Baledono, Kabupaten Purworejo. Secara fungsi, mungkin bahkan lebih dulu, surau
sederhana itu dulu digunakan KH Zarkasyi sebagai pusat syiar Islam.
Kendati
hanya terbuat dari bambu, namun KH. Zarkasyi berhasil menanamkan pokok-pokok
keimanan (Al Tauhid) dan bentuk-bentuk peribadatan praktis lainnya kepada
masyarakat Berjan dan sekitarnya. Referensi utamanya yakni kitab Lathaif
al-Thaharah karya KH Sholeh Darat Semarang. Hingga kemudian surau sederhana itu
kini sudah berkembang menjadi Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan yang masyhur.
Nama
Berjan sendiri mengandung makna do’a, sumbering kabejan (sumber kemuliaan). KH.
Zarkhasyi juga pernah tinggal di Banjaran dan Buntit, sebuah pedukuhan di utara
Berjan. Di tempat itulah beliau membangun rumah bambu beratap ilalang juga
masjid untuk mengembangkan Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah yang
diperolehnya dari KH Abdul Karim Banten di Suq al-Lail Makkah al-Mukarromah.
KH.
Zarkasyi wafat, perjalanan Pondok Pesantren kemudian dilanjutkan sang putra KH. Shiddiq mulai 1914 M hingga 1947 M. Di masa kepemimpinan KH. Shiddiq, Pondok
Pesantren An-Nawawi mulai sedikit mengalami prubahan, sebagian santri yang
biasa pulang usai belajar atau mengaji, sebagian sudah mulai menetap, tinggal
di asrama sederhana yang disediakan. Tumbuh menjadi Pondok Pesantren yang
dilengkapi asrama, tepat saat periode ketiga kepemimpinan Pondok Pesantren An
Nawawi Berjan di pimpin oleh KH. Nawawi, beliau adalah putra KH. Shiddiq.
KH.
Nawawi sejak kecil juga dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren. Beliau juga
pernah menimba ilmu di sejumlah pondok pesantren diantaranya Pondok Kauman
Grabag (Magelang - K. Rohmat), Pondok Pesantren Lasem (Rembang), Pondok
Pesantren Lirboyo (Kediri), Pondok Pesantren Jampes (Kediri), Pondok Pesantren
Tebuireng (Jombang), Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta), Pondok Pesantren
Tremas (Pacitan), Pondok Pesantren Darussalam Watucongol (Magelang)
KH.
Nawawi juga memiliki andil besar dalam perjuangan bangsa, sebelum merdeka
hingga pasca proklamasi kemerdekaan. Beliau pernah menjadi komandan Laskar
Hizbullah Purworejo di masa kemerdekaan. Setelah proklamasi, aktif
berorganisasi di organisasi kemasyarakatan juga organisasi keagamaan.
Pernah
menjabat sebagai Rois Syuriyah NU Cabang Kabupaten Purworejo, Ketua Tanfidziyah
NU Cabang Kabupaten Purworejo, Ketua MUI Pertama Kabupaten Purworejo, Pengurus
Pusat Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah, Anggota Dewan Penyantun Majlis
MUI Idonesia Jawa Tengah, Ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh
Indonesia Jawa Tengah.
Beliau
juga pernah menjadi penasehat Legiun Veteran RI (LVRI) Kabupaten Purworejo,
Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Purworejo, Ketua I
Panitia Kongres I Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh Indonesia Jawa Tengah
di Tegalrejo, Magelang. Mudir Tsani Idaroh ‘Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh
al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN Pusat), Wakil Rektor I Perguruan Tinggi
Islam Imam Puro (PTII) Purworejo (sekarang STAINU).
KH.
Nawawi berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan Pondok Pesantren An Nawawi
Berjan, dengan merubah nama Pondok Pesantren dari Miftahul Huda menjadi
Roudlotut Thullab yang berarti Taman Siswa atau Taman Pelajar. Membuka Pondok
Pesantren Putri Al-Fathimiyyah (Kini dikenal dengan Pondok Pesantren Putri
An-Nawawi). Memulai sistem pengajaran madrasi atau klasikal dan membuka lembaga
pendidikan formal.
KH.
Nawawi wafat di tahun 1982, estafet kepemimpinan Pondok Pesantren dan Thoriqoh
dilanjutkan putra bungsunya. Beliau lah KH Achmad Chalwani yang hingga kini
masih aktif mengasuh Pondok Pesantren An Nawawi Berjan. Para santri juga
mendapat bekal pendidikan formal. Itu tidak lepas dari persinggungan KH Achmad
Chalwani dengan beberapa Pondok Pesantren tempat beliau menuntut ilmu. Ada
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo (Kediri), Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak (Yogyakarta), Pondok Pesantren Olak Alung Ngunut
(Tulungagung).
KH. Achmad Chalwani membawa Pondok Pesantren An-Nawawi berkembang pesat , maju dan
dikenal luas. Ribuan santri yang datang menuntut ilmu datang dari seluruh
penjuru Indonesia, bahkan banyak alumni yang berasal dari Malaysia. Tetap teguh
memegang cita-cita luhur nan mulia yang telah dirintis para pendahulunya, semua
dimaknai sebagai amanat dan tanggungjawab untuk mempertahankan eksistensi
Pondok Pesantren An Nawawi Berjan, membawa para santrinya menjawab tantangan
zaman, dan tetap mempertahankan Pondok Pesantren An Nawawi Berjan sebagai
pondok pesantren dengan ciri khas pesantren salafiyah.
***